![]() |
Rihlah Tarbawiyah Iqtishadiyah bersama Abah Trimo, Direktur CV. Gangsar Tulungagung/Foto: Aspuri. |
mbsmu.com - Sebuah pengalaman pendidikan yang menginspirasi sekaligus membuka cakrawala ekonomi dirasakan oleh para santri kelas 6 Muhammadiyah Boarding School (MBS) Trenggalek dalam kegiatan Rihlah Tarbawiyah Iqtishadiyah yang digelar di CV Gangsar, Tulungagung. Kegiatan ini dirancang untuk memberikan wawasan langsung tentang dunia produksi, manajemen usaha, serta nilai-nilai kehidupan dari seorang pelaku usaha yang memulai segalanya dari nol.
Rihlah yang berlangsung pada Rabu, 21 Mei 2025 ini dipimpin langsung oleh Direktur MBS Trenggalek Ustadz Anang Wahid Cahyono, Lc., M.HI., didampingi oleh Kepala MAM Trenggalek Mujiaryo, M.Pd.I., dan pengasuh pondok Nanang Eko Nurcahyanto dan para Ustadz dan Ustadzah MBS Trenggalek. Santri dan pendamping berkumpul di Masjid Al-Fattah Tulungagung, tempat pertemuan pertama dengan Bapak Sutrimo, pendiri sekaligus Direktur Utama CV Gangsar yang akrab disapa Abah Sutrimo. Pertemuan ini menjadi momen paling membekas, bukan hanya karena pertemuan dengan sosok inspiratif, tapi juga karena pelajaran hidup yang tidak ditemukan di dalam buku pelajaran.
Dalam suasana khidmat namun penuh kehangatan, Abah Sutrimo membagikan kisah hidupnya yang menggetarkan hati. Ia bercerita, sejak kecil hidup dalam keterbatasan dan harus bekerja keras demi sesuap nasi. Ayahnya wafat ketika ia masih duduk di bangku kelas 2 SD. Karena kondisi ekonomi keluarga, ia pindah-pindah sekolah dan bahkan tak sempat mengenyam pendidikan formal hingga jenjang tinggi. Namun, semua itu tidak memadamkan semangatnya untuk belajar dari kehidupan.
“Saya tamat SD umur 13 tahun langsung kerja. Jadi tukang sapu, bersihin got. Tidak ada buku, hanya buku sabak. Catatannya di otak. Belajarnya di lapangan, bukan di kelas,” tuturnya.
Dengan kesungguhan dan penghematan luar biasa, Abah Sutrimo menyisihkan penghasilannya dari kerja kasar, bahkan dari sebungkus nasi loto dan tempe segitiga, untuk ditabung. Ia belajar disiplin keuangan dari pengalaman pahit dan perlahan membangun usaha sendiri. Dari menabung 1000 rupiah per hari, hingga akhirnya terkumpul untuk membeli pedet (anak sapi) yang kemudian pedet itu dijual menjadi modal awal usahanya.
"Dari situ lima ratus empat puluh ribu rupiah pedet dijual. Saya belikan wajan, panci, timbangan kodok, timbangan gandulan, tepung, kacang, telur. Itu pada 26 Maret 1981 saya belajar kerja sendiri. Saya ingat pada hari itu, kamis legi, tuturnya.
“Saya tidak sekolah tinggi, tapi saya sekolah kehidupan. Saya tidak punya apa-apa, tapi saya punya tekad, kejujuran, dan kemauan kuat. Belajar, belajar, bekerja. Kita itu harus punya niat. Jangan nunggu dari orangtua. Kita harus belajar punya inisiatif dan pikiran kita kreatif,” pesannya penuh semangat kepada para santri.
![]() |
Abah Trimo sedang bercerita tentang perjalanan hidupnya dan memotivasi santri MBS Trenggalek/ Foto: Candra |
Ia juga membagikan filosofi dari nama Gangsar yang diambil dari bahasa Jawa berarti “lancar.” Filosofi ini menggambarkan kehidupan dan usaha seperti perahu yang akan terus melaju asal terus didayung. Kini, usaha CV Gangsar telah memproduksi camilan legendaris seperti Kacang Shanghai, yang dibuat dari bahan-bahan sederhana seperti kacang tanah, tepung tapioka, minyak kelapa, bawang putih, gula, dan garam—namun dengan cita rasa yang digemari berbagai kalangan.
Setelah sesi motivasi di masjid, kegiatan dilanjutkan dengan kunjungan langsung ke pabrik Gangsar. Para santri diajak berkeliling melihat berbagai proses produksi, mulai dari seleksi kacang, penggorengan, pengemasan, hingga penyimpanan dan distribusi. Mereka juga mendapat kesempatan mencicipi langsung kacang Shanghai yang baru saja diangkat dari penggorengan, gurih, dan penuh cerita.
Melalui kegiatan ini, santri tidak hanya belajar teori ekonomi atau bisnis, tetapi juga menyerap nilai-nilai kerja keras, kejujuran, semangat, serta pentingnya bersyukur dan menghargai setiap proses hidup.
“Ini adalah pelajaran hidup yang nyata. Bukan hanya soal manajemen bisnis, tetapi juga tentang bagaimana memaknai hidup dengan penuh perjuangan dan ketulusan,” ujar Ustadz Anang Wahid Cahyono dalam refleksinya.
Rihlah Tarbawiyah Iqtishadiyah ini menjadi momentum yang tidak hanya memperkaya pengetahuan santri, tetapi juga menanamkan nilai-nilai spiritual, etos kerja, dan tanggung jawab sosial. Semoga dari pengalaman ini, akan tumbuh generasi pengusaha muslim yang berintegritas, tangguh, dan membawa keberkahan bagi umat. [Tim Redaksi]
COMMENTS